www.gunadarma.ac.id
Nama
: Mikhael Kristian
NPM : 24210401
Kelas : 4EB20
1)
Lingkungan Bisnis Yang Mempengaruhi Perilaku Etika
Dalam menciptakan etika bisnis, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu pengendalian diri,
pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan
persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan tanggung jawab sosial,
mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep
pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K (Katabelece, Kongkalikong,
Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar itu benar, dll.
Dengan adanya moral dan etika dalam
dunia bisnis, serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin
jurang itu dapat dikurangi, serta kita optimis salah satu kendala dalam
menghadapi era globalisasi dapat diatasi.
Moral merupakan sesuatu yang
mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu
(sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu
kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika
(patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan
serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam
suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya
kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi
dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh
orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait
lainnya. Mengapa ?
Dunia bisnis, yang tidak ada
menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan
secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan
etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak,
baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya
satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa
yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan
menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh
kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk
menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara
satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang
mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
2)
Kesaling-Ketergantungan Antara Bisnis Dan Masyarakat
Alam telah mengajarkan kebijaksanaan tentang betapa hubungan
yang harmonis dan kesalingtergantungan itu adalah amat penting. Bumi tempat
kita berpijak, masih setia bekerja sama dan berkolaborasi dalam tim dan secara
tim dengan planet-planet lain, namun penghuninya kebanyakan telah berjalan
sendiri-sendiri. Manusia yang konon khalifah di bumi, merasa sudah tidak
membutuhkan manusia lainnya. Bukanlah kesalingtergantungan yang dibina,
melainkan ketergantungan yang terus diusung. Kesalingtergantungan bekerja
didasarkan pada relasi kesetaraan, egalitarianisme. Manusia bekerjasama,
bergotong-royong dengan sesamanya memegang prinsip kesetaraan.
Tidak akan tercipta sebuah gotong-royong jika manusia
terlalu percaya kepada keunggulan diri dibanding yang lain, entah itu
keunggulan ras, agama, suku, ekonomi dsb.
Wajah Indonesia yang carut marut dewasa ini adalah karena
terlalu membuncahnya subordinasi relasi manusia atas manusia lain. Negara telah
dikuasai oleh jenis manusia yang memiliki mentalitas pedagang. Pucuk kekuasaan
telah disulap menjadi lahan bisnis, dimana dalam dunia bisnis maka yang dikenal
adalah tuan dan budak, majikan dan buruh. Dalam hal ini, yang tercipta adalah
iklim ketergantungan, bukan kesalingtergantungan.
Di negara lain, kelas proletar yang dahulu diperjuangkan,
toh setelah meraih kekuasaan, pada gilirannya ia menjelma menjadi kelas yang
istimewa, yang rigid terhadap kritik. Hukum diselewengkan, dan bui menjadi
jawaban praktis bagi para oposan. Proletar melakukan kesalahan yang sama dengan
borjuis yang dilawannya habis-habisan. Jika borjuis menggunakan sentimen agama
untuk mengelabui rakyat jelata, maka proletar menganggap agama sebagai candu
rakyat. Yang satu mengatasnamakan agama, yang lainnya mengatasnamakan rakyat
miskin. Namun keduanya memiliki tujuan yang sama: kekuasaan. Kekuasaan negara,
dan juga agama telah menjadi petualangan bisnis, dimana siapa saja yang
berkuasa maka kekayaan hendak menumpuk dalam istananya dengan benteng
menjulang, sementara secuil saja kekayaan yang dinikmati mereka yang bekerja
keras.
Di abad yang lalu, orang-orang Eropa yang berasal dari
Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis mengunjungi Asia termasuk negeri ini
muasalnya bertujuan untuk berdagang dengan penduduk setempat. Mereka melakukan
kerjasama bisnis dengan penduduk lokal dan beberapa elit penguasa. Pada mulanya
mereka menikmati peran sebagai partnerbisnis, lambat laun peran ini dianggap
tidak lagi menarik. Mereka pun berubah menjadi majikan, dan kelak menjajah dan
memperbudak bangsa ini hingga ratusan tahun untuk mempertahankan posisi itu dan
menciptakan ketergantungan penduduk lokal kepada mereka. Rupanya peran yang
belakangan lebih menarik dan lebih menantang
Perbudakan adalah sesuatu yang tidak alami, menyalahi takdir
sebagai manusia. Setiap manusia berhak atas kebebasan. Namun pola perbudakan
semacam itu kiranya tidak lekang oleh zaman,. meski bentuknya diubah sedikit
supaya lebih beradab. Perbudakan dewasa ini lebih modern, kendati tetap
ditempuh dengan cara-cara yang zalim.
Apalagi di Indonesia yang masyarakatnya kebanyakan beragama
bukan karena kesadaran melainkan telah ditentukan orangtua sejak lahir, maka
agama lagi-lagi merupakan alat yang nyaris selalu laris untuk memuluskan
tujuan-tujuan tersebut. Lembaga keagamaan dan negara berkonspirasi untuk
memperbudak jiwa manusia.
Di negeri ini, berapa banyak fatwa mufti negara,
undang-undang dan peraturan daerah bernuansa agama yang tidak masuk akal yang
menghendaki rakyat senantiasa bergantung kepada mereka? Keadaan demikian
menciptakan kericuhan di dalam masyarakat akibat hiperregulasi, karena tingkat
kepatuhan masyarakat menurun. Keamanan menjadi barang yang mahal. Kepergian
para investor karena merasa tidak aman memperparah perekonomian Indonesia.
Dalam keadaan collapse akhirnya kita memiliki ketergantungan
yang tinggi kepada negara luar. Kucuran dana negara asing kepada kita bukanlah
sesuatu yang gratis. No free lunch. Dana punia dan pinjaman mereka seraya
mendesakkan kepentingan dan agenda mereka, tidak bisa dipungkiri. Barangkali
Paman Sam dengan kapitalismenya, maka Arab Saudi yang setia dengan garis iman
Wahhabi tentunya akan mendesakkan agenda mereka kepada Indonesia.
Pemikiran-pemikiran sekuler Barat yang telah merasuki dunia Islam misalnya,
dengan ideologi kapitalisme yang mengurung sendi-sendi perekonomian umat Islam
telah menjadikan dunia Islam menjadi terpuruk dengan ketergantungan yang tinggi
terhadap Barat. Sebagai jalan keluar, sebagian orang sering mengalami eskapisme
untuk memasuki dunia “pasti” yang menentramkan hati. Jalan yang diambil adalah
dengan penyerahan diri kepada sebuah “otoritas transedental” (baca: otoritas
mufti negara) yang menjanjikan kesenangan eskatologis.
Sebagian yang lain meresponnya dengan melakukan
tindakan-tindakan anarkis dan vigilantisme. Seperti pernah dituturkan Amrozi
dalam Koran Tempo tahun 2003, peledakan bom Bali adalah untuk menjaga kehidupan
beragama
Pola relasi negara kita dengan negara luar layak dibenahi.
Bangsa kita harus memiliki keberanian yang cukup untuk bisa pula mendesakkan
cita-cita negara kita sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kepada
mereka. Bangsa kita harus memiliki nyali yang cukup untuk menolak agenda mereka
yang bisa merusak kemerdekaan yang telah susah payah diraih. Hubungan luar
negeri kita harus berubah dari ketergantungan, menjadi kesalingtergantungan,
sebagai bangsa-bangsa yang sejajar dan sederajat. Kemerdekaan dan kebebasan
saja belum cukup, namun saat ini penting kemerdekaan untuk hidup merdeka,
kebebasan untuk hidup bebas.
Setiap orang warga negara ini, bahkan warga seluruh dunia
memiliki kebutuhan individu. Kebutuhan akan makan, tempat tinggal yang nyaman,
pekerjaan dsb sejatinya bukanlah kebutuhan individu atau segelintir orang saja,
melainkan seluruh orang yang hidup di dunia ini membutuhkannya. Setiap orang
tidak akan mampu mencukup kebutuhannya sendiri tanpa semangat gotong-royong,
kesalingtergantungan, kerjasama, kolaborasi dengan orang lain.
3)
Kepedulian Perilaku Bisnis Terhadap Etika
Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di
masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas sampai ke
daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi yang
sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi adalah
bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini
mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral
dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu
memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan
kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika
dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.
Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis
syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih
cenderung pada sisi “emosional” saja dan terkadang mengkesampingkan konteks
bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik
itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar
konvensional, meski tidak “mengenal” sistem syariah, namun potensinya cukup
tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa
pelaku usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut.
Namun, karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika bisnis
berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula,
Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok
orang sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang
melingkupinya.Walaupun seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba
mengendalikan kualitas etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel
yang sangat rentan terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas
etika dan moral seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah.
Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis
sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan
moral, masalah tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian.
Sebaliknya, justru sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa
berbisnis sama artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di
Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral
dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan moral adalah sebuah wilayah
pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan
salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang
itulah kesalahan kedua dalam memahami masalah etika dan moral di Indonesia.
Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali
menyebabkan kebanyakan orang Indonesia 5tidak bisa membedakan antara perbuatan
yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan
perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal, sama
sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut
etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka
masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah
penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
4)
Perkembangan Dalam Etika Bisnis
Di akui bahwa sepanjang sejarah
kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika.
Perhatian etika untuk bisnis dapat dikatakan seumur dengan bisnis itu sendiri.
Perbuatan menipu dalam bisnis , mengurangi timbangan atau takaran, berbohong
merupakan contoh-contoh kongkrit adanya hubungan antara etika dan bisnis. Namun
denikian bila menyimak etika bisnis sperti dikaji dan dipraktekan sekarang,
tidak bisa disangkal bahwa terdapat fenomena baru dimana etika bisnis mendapat
perhatian yang besar dan intensif sampai menjadi status sebagai bidang kajian
ilmiah yang berdiri sendiri.
Masa etika bisnis menjadi fenomena
global pada tahun 1990-an, etika bisnis telah menjadi fenomena global dan telah
bersifat nasional, internasional dan global seperti bisnis itu sendiri. Etika
bisnis telah hadir di Amerika Latin , ASIA, Eropa Timur dan kawasan dunia
lainnya. Di Jepang yang aktif melakukan kajian etika bisnis adalah institute of
moralogy pada universitas Reitaku di Kashiwa-Shi. Di india etika bisnis
dipraktekan oleh manajemen center of human values yang didirikan oleh dewan
direksi dari indian institute of manajemen di Kalkutta tahun 1992. Di indonesia
sendiri pada beberape perguruan tinggi terutama pada program pascasarjana telah
diajarkan mata kuliah etika isnis. Selain itu bermunculan pula
organisasi-organisasi yang melakukan pengkajian khusus tentang etika bisnis
misalnya lembaga studi dan pengembangan etika usaha indonesia (LSPEU Indonesia)
di jakarta.
Berikut
perkembangan etika bisnis menurut Bertens (2000):
a)
Situasi
Dahulu
Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan
filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan
manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan
kegiatan niaga harus diatur.
b)
Masa
Peralihan: tahun 1960-an
Ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di
Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan
terhadap establishment (kemapanan). Hal ini memberi perhatian pada dunia
pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru dalam
kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang paling sering dibahas
adalah corporate social responsibility.
c)
Etika
Bisnis Lahir di AS: tahun 1970-an
sejumlah
filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis
dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang
sedang meliputi dunia bisnis di AS.
d)
Etika Bisnis Meluas ke Eropa: tahun 1980-an
Di Eropa Barat, etika bisnis sebagai
ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum
pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis yang disebut
European Business Ethics Network (EBEN).
5.
Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an
tidak
terbatas lagi pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh
dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics, and
Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.
5) Etika Bisnis Dan Akuntan
Dalam menjalankan profesinya seorang
akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik
Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan
etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk
berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat.
Kode etik IAI terdiri dari:
a. Prinsip etika, terdiri dari 8
prinsip etika profesi yang merupakan landasan perilaku etika profesional,
memberikan kerangka dasar bagi aturan etika dan mengatur pelaksanaan pemberian
jasa profesional oleh anggota yang meliputi tanggung jawab profesi, kepentingan
publik, integritas, objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional,
kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis.
b. Aturan Etika Kompartemen Akuntan
Publik, terdiri dari independen, integritas dan objektivitas, standar umum dan
prinsip akuntansi, tanggung jawab kepada klien, tanggung jawab kepada rekan
seprofesi, serta tanggung jawab dan praktik lain.
c. Interpretasi Aturan Etika, merupakan
panduan dalam menerapkan etika tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan
penerapannya. Di Indonesia penegakan kode etik dilaksanakan oleh
sekurang-kurangnya enam unit organisasi, yaitu Kantor Akuntan Publik, Unit Peer
Review Kompartemen Akuntan Publik IAI, Badan Pengawas Profesi Kompartemen
Akuntan Publik IAI, Dewan Pertimbangan Profesi IAI, Departemen Keuangan RI, dan
BPKP. Selain keenam unit organisasi tadi, pengawasan terhadap kode etik
diharapkan dapat dilakukan sendiri oleh para anggota dan pimpian KAP.
Selain dengan kode etik akuntan juga
merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau
masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya
karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam
kode etik profesi. Akuntansi sebagai profesi memiliki kewajiban untuk
mengabaikan kepentingan pribadi dan mengikuti etika profesi yang telah
ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai profesional mempunyai tiga kewajiban
yaitu; kompetensi, objektif dan mengutamakan integritas. Kasus enron, xerok,
merck, vivendi universal dan bebarapa kasus serupa lainnya telah membuktikan
bahwa etika sangat diperlukan dalam bisnis. Tanpa etika di dalam bisnis, maka
perdaganan tidak akan berfungsi dengan baik. Kita harus mengakui bahwa
akuntansi adalah bisnis, dan tanggung jawab utama dari bisnis adalah
memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder. Tetapi kalau hal ini dilakukan
tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat merugikan. Banyak orang yang
menjalankan bisnis tetapi tetap berpandangan bahwa, bisnis tidak memerlukan
etika.
Opini :
Menurut
saya etika sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis agar kita dapat bersaing secara
sehat dalam berbisnis tidak mengandalkan apapun cara buruk untuk bersaing
terhadap partner usahanya. Bisnis juga sangat tergantung terhadap masyarakyat bahkan warga seluruh dunia memiliki
kebutuhan individu. Kebutuhan akan makan, tempat tinggal yang nyaman, pekerjaan
dsb sejatinya bukanlah kebutuhan individu atau segelintir orang saja, melainkan
seluruh orang yang hidup di dunia ini membutuhkannya Setiap orang tidak akan
mampu mencukup kebutuhannya sendiri tanpa semangat gotong-royong,kesalingtergantungan,kerjasama,
kolaborasi dengan orang lain.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar