Powered By Blogger

Selasa, 10 April 2012

Yusril : Akan Ada Peraturan Lebih Khusus di Bidang Perbankan



Nama : Mikhael Kristian
Kelas  : 2EB20
NPM  : 24210401

Yusril mengatakan, selama ini aturan-aturan perbankan sudah memberikan jalan untuk mengatasi masalah dalam restrukturisasi perbankan, walaupun belum sampai pada tingkat UU. Namun menurut Yusril, dalam beberapa UU tertentu, diatur pula ketentuan restrukturisasi mengenai kredit. "Misalnya dalam UU Kepailitan. Dalam prakteknya hal tersebut sudah berjalan," ujar Yusril.
Yusril berpendapat, kita perlu mempersiapkan suatu kerangka peraturan perundang-undangan yang tidak saja mengatur mengenai restrukturisasi, tapi juga mengatur mengenai likuidasi perusahaan. Untuk itu, harus menyertakan pihak-pihak terkait dalam pembahasan bersama.
Menurut Yusril, Depkeh dan HAM sendiri yakin, tidak mungkin menyelesaikan masalah-masalah ekonomi jika tidak secara bersamaan membenahi aspek-aspek hukumnya. Saat ini, menurut Yusril, pihaknya tidak hanya membahas masalah-masalah yang  berkaitan dengan pengadilan dan HAM, tapi juga aspek-aspek hukum ekonomi.
Yusril mencontohkan,  saat ini DPR dan Depkeh tengah membahas 3 RUU tentang HaKI. Ia berharap, untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi  ke depan, pembangunan ekonomi dapat sejalan dengan pembangunan hukum. Hal ini bertolak dari pengalaman masa lalu di mana pembangunan ekonomi tidak ditopang oleh aspek hukum yang kuat, sehingga menimbulkan krisis di bidang ekonomi.
Peraturan baru perbankan
Saat ditanya apakah Depkeh dan HAM akan mengeluarkan peraturan baru di bidang perbankan, Yusril mengemukakan bahwa  peraturan di bidang perbankan sudah ada dan sudah cukup. Namun menurut Yusril, memang kemungkinan akan ada pengaturan terhadap aspek yang lebih khusus, yaitu tentang restukturisasi kredit dan likuidasi perusahaan hingga suatu perusahaan akan jelas aspek-aspek hukumnya dalam menghadapi kredit-kredit macet.
Menurut Yusril, apabila suatu perusahaan mengalami kredit macet atau hal-hal yang membuat perusahaan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik, tidak dapat begitu saja dipailitkan. "Tetapi harus dilakukan suatu kajian secara hukum," ujarnya.
Lebih jauh Yusril menjelaskan bahwa harus dipikirkan aspek lebih jauh, jangan sampai ketika mempailitkan suatu perusahaan, dampaknya akan berkepanjangan. "Tidak saja berdampak pada tenaga kerjanya, tapi juga kemungkinan besar utang-utang perusahaan tersebut tidak dapat dibayar," ujarnya. 
Yusril berpendapat, apabila suatu perusahaan dapat diselamatkan melalui restrukturisasi utang atau penyertaan modal bank pada perusahaan, itu masih memberikan peluang kepada perusahaan untuk berkembang. "Sehingga, tenaga kerjanya tidak terlantar dan utang-utangnya bisa dibayar. Diperlukan suatu landasan hukum untuk menjamin proses restrukturisasi hutang," ujar Yusril.
Yusril menyatakan bahwa untuk permasalah teknis, Depkeh hanya dapat turun tangan dalam masalah tersebut sampai pada mempersiapkan perangkat-perangkat hukum dan peraturan pelaksanaannya sejauh yang diperlukan. Alasannya, bisa saja tidak diperlukan suatu peraturan dan perangkat hukum dari Depkeh, tapi dapat diatur dengan kontrol sosial dari masyarakat.
Tidak perlu rekonsiliasi
Yusril juga memberikan pandangannya berkaitan dengan masalah BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Tim kerja penyelesaian masalah BLBI masih mempunyai 10 hari lagi sampai 10 November 2000 untuk merumuskan kriteria BLBI. Kabarnya, jika dalam rentang waktu tersebut persamaan pendapat tidak tercapai, penyelesaiannya akan diambil alih oleh DPR. Ada juga beberapa pihak yang mengusulkan rekonsiliasi pendapat antara keduanya.
Yusril berpendapat, tidak perlu ada rekonsiliasai perihal perbedaan persepsi BLBI antara Bank Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan (Depkeu). Karena menurutnya, suatu rekonsiliasi itu dilakukan jika terjadi suatu pemisahan. "Saya tidak melihat sampai sejauh itu (rekonsiliasi, red). Yang diperlukan adalah menjembatani masalah-masalah yang ada antara Depkeu dengan BI dalam penyelesaian masalah BLBI," ujar Yusril.
Lebih lanjut Yusril mengatakan bahwa mengenai masalah perbankan khususnya BLBI, dilihat dari apek peraturanya sudah cukup jelas. "Akan tetapi, yang jadi masalah adalah bagaimana merumuskan suatu kebijakan bersama dan bagaimana menyelesaikan masalah yang dihadapi bersama," ungkapnya.
Bahwa saat ini tertajadi perbedaan pandangan dan pendapat, menurut Yusril, itu adalah hal yang wajar. Terlebih lagi BI saat ini, berdasarkan UU No. 23 tahun 1999,  merupakan suatu badan independen yang lepas dari pemerintah. "Bahkan dari segi hukum tata negara, seakan-akan menempatkan BI sebagai suatu lembaga tinggi negara yang baru walaupun sebenarnya bukan demikian," katanya.
Menurut Yusril, dalam menjalankan tugas-tugas utamanya dalam menjamin stabilitas moneter, BI tidak bisa bekerja sendiri. Pasalnya, situasi di bidang moneter tidak saja dipengaruhi faktor ekonomi, tapi juga faktor non-ekonomi dan kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah di dalam negeri serta kaitannya dengan pihak-pihak luar. "Jadi memang semua pihak harus melihat permasalahan secara proporsional," kata Yusril.

Kasus Aspek Hukum dalam Ekonomi


Nama : Mikhael Kristian
NPM  : 24210401
Kelas  : 2EB20
 
Dalam jaman krisis ekonomi yang terus berkepanjangan ini maka, persaingan dalam dunia bisnis juga ikut semakin ketat. Adanya persaiangan yang semakin ketat maka banyak pula permasalahan-permasalahan yang terjadi. Untuk menyelesaikan masalah-maslah yang timbul dalam dunia bisnis tersebut maka ditawarkan beberapa alternative yang digunakan dan dari setiap alternative tersebut ada kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Penyelesaian sengketa dibedakan menjadi 2 macam yaitu:
1. Penyelesaian sengketa pengadilan
2. Penyelesaian sengketa non-pengadilan.
         Pengadilan
1. Dalam pengadilan pengambilan putusan lama menyebabkan pngambilan putusan kurang efektif.
2. Menyebabkan turunnya citra perusahaan.
         Negoisasi dan ADR
1.       Tidak ada pihak yang merasa dirugikan baik dari masyarakat maupun dari pengusaha.
2.       Dari masing-masing pihak merasa di untungkan oleh win-win karena cara penyelesaian masalah sengketa dilakukan dengan kesepakatan dari masing-masing pihak.
         Arbitrase
1.       Penyelesaian sengketa lewat arbitrase dala pengambilan keputusannya lebih cepat.
2.       Citra perusahaan tidak mengalami penurunan.
3.       Tetapi dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase mempunyai kelemahan karena hasil putusan yang diperoleh tidak ada perlindungan dari hukum lagi.
         Dalam penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan keuangan ada 4 (empat) cara yang digunakan:
1.       Masalah penghormaan terhadap hukum
2.       Kepastian hokum
3.        Kewenangan dan putusan badan arbitrase
4.       Kultur perkara masyarakat
Kesalahan mendasar bagi warga Indonesia dalam membuat perjanjian adalah kurangnya memperhatikan isi klausul dalam perjanjian sehingga menimbulkan sengketa diakhir cerita. Hal ini wajar terjadi karena beberapa faktor, selain banyak orang yang memang awam tentang hukum perjanjian dan awam tentang pembuatan klausul, ada juga yang terlalu menganggap remeh klausul perjanjian. Mereka berpikir bahwa suatu perjanjian jika menemui masalah nanti pada saat jatuh tempo dapat diselesaikan secara baik-baik dan kekeluargaan.Perlu diadakan sosialisasi tentang pentingnya hukum perjanjian, entah itu klausul, aparat hukum, hingga tingkat penyelesaian jika terjadi sengketa, lalu masyarakat dapat mengetahui kepastian hukum yang terjadi dan batasan-batasan hukum yang ada, sehingga masyarakat dapat menghormati hukum sebagaimana adanya.
Menurut saya penyelesaian sengketa yang tepat digunakan di dalam negeri adalah dengan melalui pengadilan, cara ini membuat para pelaku perjanjian berpikir terlebih dahulu sebelum membuat dan menyepakati suatu perjanjian karena penyelesaian sengketa melalui pengadilan menguras banyak waktu, tenaga, dan juga materi yang tak sedikit. Selain itu jika membuat klausul dalam perjanjian akan diperhatikan secara seksama, tidak asal-asalan dan harus membaca isi klausul-klausul dalam perjanjian tersebut. Cara penyelesaian ini secara tidak langsung mengharuskan warga Indonesia mengetahui tentang hukum perjanjian, entah perjanjian regional maupun Internasional, ini membuat warga Indonesia melek hukum. Namun cara ini tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya dukungan dari berbagai elemen hukum. Salah satunya adalah aparat penegak hukum, seperti Hakim. Tidak dipungkiri yang berperan besar dalam suatu pengadilan adalah seorang hakim. Seorang hakim harus menguasai setiap kasus yang ditanganinya, harus obyektif atau tidak memihak salah satu pihak saja, berpengetahuan luas tentang hukum terkini atau tentang peraturan yang terbaru, hal ini dibutuhkan jika suatu saat pengadilan mengalami sengketa ekonomi internasional. Selain hakim, para pelaku perjanjian harus mempunyai bukti perjanjian tertulis atau akta tertulis, ini memudahkan para hakim dalam menyelesaikan sengketa tersebut, karena terdapat peraturan atau pasal-pasal yang mengatur perjanjian tersebut sehingga.PENenyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut saya kurang tepat dan efisien, walaupun mulai banyak orang yang menggunakan cara ini. Kita tidak mengetahui apakah para arbitor tersebut memang kompeten di bidang mereka. Selain itu peraturan tentang penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase masih dikaji oleh para ahli hukum untuk menemukan pakem peraturan yang dapat mengaturnya secara tepat. 
http://pattyaizawa.blogspot.com/2011/05/contoh-kasus-aspek-hukum-dalam-ekonomi.html

Perjanjian Gadai Saham Kasus BFI Masih Sisakan Persoalan



Nama  : Mikhael Kristian
NPM   : 24210401
Kelas   : 2EB20

Awal perseteruan APT dan BFI adalah perjanjian gadai saham yang ditandatangani pada 1 Juni 1999. Perjanjian gadai ini adalah tindak lanjut pemberian fasilitas kredit (financial leasing agreeement) yang diberikan BFI kepada Ongko Group, dimana APT berkedudukan sebagai penjamin. BFI menerima jaminan dari APT berupa gadai 111.804.732 lembar saham. Perjanjian gadai itu ditandatangani 1 Juni 1999 dan berlaku sampai 1  Desember 2000.
APT menilai BFI telah melakukan perbuatan melanggar hukum ketika mengalihkan saham tersebut kepada pihak ketiga, sementara perjanjian gadai sahamnya telah berakhir. Di sisi lain, BFI beranggapan bahwa mereka berhak untuk mengalihkan saham tersebut lantaran sudah memberitahukan mengenai perpanjangannya ke APT. Selain memang masih tanda tanya, apakah utang Ongko Grup ke BFI sudah dibayar lunas atau belum?Berdasarkan KUHPerdata, mengingat gadai sifatnya accesoir dari perjanjian pokok, tentu tidak bisa  dikatakan gadai berakhir selama utang pokoknya belum dilunasi.
Untuk memperjelas status perjanjian gadai ini, salah satu pihak yang berperkara (tergugat II)--The Chase Manhattan Bank (sekarang Chase JP Morgan,red)sebenarnya sudah mencoba menarik kantor pengacara Hadiputranto Hadinoto and Partners (HHP) ke perkara ini sebagai tergugat insidentil. Pasalnya, HHP lah yang menyusun draf perjanjian gadai saham antara APT dan BFI yang akhirnya berujung sengketa itu.
PDD Dermawan, kuasa hukum Chase, dalam permohonannya mengatakan, pertimbangan memasukkan HHP sebagai pihak dalam perkara ini adalah untuk menjelaskan bahwa dokumen yang dirancangnya adalah sah dan berlaku menurut hukum.
Keterangan saksi ahli di perkara ini juga menyatakan keanehannya terhadap perjanjian gadai ini. Prof. Nindyo Pramono yang menjadi saksi ahli, mengaku bingung ketika melihat ada klasula pengakhiran perjanjian gadai saham yang tidak diikuti dengan selesainya perjanjian pokoknya, yaitu hutang piutang antara BFI dengan Grup Ongko.
Menurut dosen dari Universitas Gadjah Mada ini, seharusnya perjanjian gadai saham yang ia persepsikan sebagai jaminan terhadap hutang Ongko Grup, yang nilainya mencapai AS$100 juta belum akan berakhir selama hutangnya belum lunas. Artinya, lanjut dia, tidak masuk akal sebagai turunan dari perjanjian pokok, apabila perjanjian gadai saham tidak mengikuti perjanjian pokoknya.
Sebagai anak perusahaan Ongko Grup, APT memang telah menjaminkan kepemilikan sahamnya ke BFI. Bahkan dalam salah satu klausulnya, BFI diberikan kewenangan untuk mengalihkan saham-saham APT, kalau sampai hutang Ongko Grup yang belum juga terlunasi.
Sayangnya, permohonan Chase, ditolak majelis hakim. Alasannya, menurut majelis PN Jakpus yang diketuai Sylvester Djuma, pihak Chase terlambat memasukkan permohonan tersebut, karena proses pemeriksaan perkaranya sudah sampai pada tahap jawaban.
Lebih jauh majelis hakim mengatakan, kalaupun Chase tidak puas dengan penetapan majelis, sebaiknya memasukan saja gugatan baru untuk meminta pertanggungjawaban HHP.
Sampai berita ini diturunkan, hukumonline belum berhasil memperoleh konfirmasi dari pihak HHP.
Perjanjian perdamaian
Hal lain yang menarik di perkara BFI ini adalah berkenaan dengan proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pada pertengahan 2000, BFI mengajukan PKPU ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Untuk mengakhiri PKPU tersebut, BFI mengajukan rencana perdamaian yang salah satu isinya pengalihan saham yang digadaikan dari BFI kepada kreditur-krediturnya.
Nyatanya, mulai dari proses PKPU, pengumuman, sampai dengan pengesahan (ratifikasi) rencana perdamaian, tidak pernah ada keberatan dari APT. Bahkan, dalam surat tertanggal 11 Mei 2001, BFI mengirimkan surat pemberitahuan yang isinya menginformasikan bahwa saham-saham yang digadaikan telah dialihkan kepada The Law Debenture Trust Corporation Plc. Lagi-lagi selaku pihak yang berkepentingan, tidak ada tanggapan dari APT perihal surat yang dikirimkan BFI itu.
Lebih jauh, Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum BFI, mengatakan kalaupun APT mengajukan gugatan, lebih pas diajukan ke Pengadilan Niaga. Selain karena BFI telah melalui proses PKPU di Pengadilan Niaga, berdasarkan Undang-undang Kepailitan, turunan dari perkara kepailitan dan PKPU juga menjadi kewenangan Pengadilan Niaga.

Dualisme Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dicemaskan

www.gunadarma.ac.id

Nama : Mikhael Kristian
Kelas  : 2eb20
NPM  : 24210401

Liputan6.com, Jakarta: Dualisme penyelesaian secara hukum (litigasi) dalam sengketa ekonomi syariah yang bisa ditangani Pengadilan Agama maupun Pengadilan Umum dikhawatirkan membuat kegamangan bagi kepastian hukum ekonomi syariah di masa mendatang. Demikian diungkapkan Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) Dr. H. A. Riawan Amin, M.Sc. usai seminar "Penyelesaian Hukum Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia", yang diselenggarakan Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI), Jakarta, Sabtu (18/6).

Riawan Amin berpendapat seharusnya penyelesaian masalah melalui Badan Arbritase Syariah Nasional (Basyarnas) bisa dimaksimalkan. Menurutnya, Badan itu bisa menjadi alternatif untuk menghindari persengketaan melalui musyawarah untuk mufakat. Namun, Ia mengingatkan, jika masalah itu memasuki wilayah persengketaan maka Pengadilan Agamalah yang berhak menanganinya sesuai dengan UU tentang Peradilan Agama No. 50/2009 yang menyempurnakan UU No. 3/2006.

Selain itu, Riawan menambahkan, Mahkamah Agung juga telah banyakmenginvestasikan pengembangan sumber daya dengan mengadakan pelatihan serta mengirimkan sejumlah hakim agama keluar negeri guna mempelajari berbagai kasus yang menyangkut ekonomi syariah. Karenanya, mantan Direktur Bank Muammalat itu mengimbau agar Bank-bank Syariah ikut mendukungnya, termasuk membawa masalah yang berkenaan dengan ekonomi syariah ke peradilan agama bukan peradilan umum.

Mengenai adanya kesangsian publik atas kemampuan mengatasinya, Riawan meminta agar semua pihak memberikan kesempatan kepada peradilan agama untuk berkembang dengan berlatih menghadapi berbagai kasus. Ia mengingatkan pernyataannya bukanlah keberpihakan namun juga harus dilihat dari kelayakannya. Jika sengketa ekonomi syariah dibawa ke pengadilan umum, mungkin saja hakimnya lebih paham tentang masalah niaga tetapi apakah mereka paham tentang syariah? Begitu juga sebaliknya. "Proporsional saja, mana yang lebih diprioritaskan bisnisnya atau syariahnya?" ujar Riawan.

Hakim Utama Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Drs. H. Khalilrrahman, MH. MBA, berpendapat diperlukan kejelasan pembagian pangaturan dalam sistem peradilan, terutama jika menyangkut masalah hukum ekonomi syariah seharusnya diselesaikan di pengadilan, hakim dan cara sesuai syariah. Menurutnya, beberapa masalah hukum yang ditangani pengadilan agama saat ini tidak hanya masalah perkawinan dan warisan saja, melainkan juga masalah ekonomi. Bahkan, banyak beberapa masalah yang diputuskan cukup memuaskan masyarakat.

Staf ahli Komisi III yang membidangi masalah hukum, Deni Hariyatna, MH. berpendapat keluarnya UU Perbankan Syariah No 21 tahun 2008 merupakan masa transisi bagi Peradilan Agama untuk mempersiapkan menyiapkan baik sumber daya maupun sistemnya lebih baik lagi ke depan. Dalam UU itu pada pasal 55 ayat 22 menyebutkan penyelesaian sengketa memang bisa dilakukan melalui musyawarah, mediasi perbankan, melalui Basyarnas dan a/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Menurutnya, perlu ada peran aktif masyarakat jika ingin mengajukan keberatan atas keluarnya dua UU tersebut jika dianggap tumpang tindih.

Sementara Ketua HISSI Prof. Amin Summa berharap seluruh pihak bisa mencari solusi terbaik dalam menuntaskan dualisme dalam penyelesaikan sengketa hukum ekonomi syariah. Kendati demikian, pihaknya belum berpikir untuk melakukan judicial review karena seminar yang diselenggarakan saat ini baru sebatas mendiskusikan masalah tersebut dengan berbagai kalangan dalam forum.(YUS)


Kenaikan BBM, “bakar kami saja pak!”


 www.gunadarma.com

Nama  : Mikhael Kristian, NPM   : 24210401, Kelas  : 2EB20 

‘Bom waktu’ yang dibuat pemerintah sejak sebulan lalu direncanakan akan meledak pada 1 April 2012 mendatang. Isu kenaikan BBM yang sudah menuai kontra dari beberapa ormas hingga Mahasiswa seluruh Universitas di Indonesia menjadi hotnews dibeberapa media. Belum usai demo dan protes yang terus bergulir atas rencana tersebut, isu-isu atas kenaikan berbagai harga terus bermuculan. Bagaikan bola salju, isu kenaikan harga-harga ini terus menggelinding, tidak bisa dibendung, semakin membesar dan mengakibatkan keresahan yang semakin menjadi-jadi bagi rakyat Indonesia. “BBM naik, harga pokok tidak akan naik” begitu lontaran dari salah satu pejabat tinggi Indonesia yang menjadi hotline media cetak Sumatera Express. Apakah pemerintah dapat menjamin harga-harga pokok di Indonesia tidak akan naik? Ambil contoh saja pedagang keliling yang menjual durian dengan harga 5.000/buah, harga tersebut akan berubah apabila kita berjalan sejauh 40km dari tempat semula. Harga dapat saja berubah menjadi 7.000 - 15.000 per buah nya.
Penggunaan BBM terbesar berasal dari transportasi (68%). Secara otomatis kenaikan tersebut berimbas kepada pemilik kendaraan umum (angkot, bis kota, dll) untuk menaikkan tarif jalan. Hampir seluruh transaksi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia melibatkan alat transportasi berbahan bakar minyak. Dengan kenaikan harga BBM, maka dengan sendirinya kebutuhan pokok akan ikut naik. Ketika bahan pokok naik, maka kenaikan ini juga akan berimbas pada kenaikan jumlah warga miskin di Indonesia. Kenaikan BBM yang tidak diimbangi dengan kenaikan gaji menjadi salah satu pemicu meningkatnya pengeluaran bulanan keluarga. Kenaikan BBM sudah cukup jelas merugikan dari sektor ekonomi mikronya.
Efek dari rencana kenaikan harga BBM ini menyebar ke seluruh sektor kehidupan dan berdampak sistemik. Lebih lagi, yang paling terkena imbas adalah sektor ekonomi, sosial dan budaya, baik ekonomi makro maupun ekonomi mikro yang sektoral. Efek rencana kenaikan BBM terhadap sektor ekonomi makro akan dirasakan dengan meningkatnya inflasi.
“Jika rencana kenaikan BBM 1 April mendatang disahkan, maka inflasi per April 2012 ini akan mencapai angka 7,1 bahkan 7,8%. Padahal menurut data Bank Indonesia, inflasi pada Februari 2012 lalu hanya mencapai 3,56%.” kata Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution
Artinya, kenaikan BBM ini akan menaikkan angka inflasi mencapai lebih dari 4% atau dua kali lipat dari angka inflasi sebelumnya.
Kenaikan inflasi ini pun pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Berkaca pada kenaikan BBM tahun 2005 lalu, peningkatan inflasi akibat kenaikan harga BBM membuat GDP riil Indonesia hanya mengalami sedikit kenaikan dari sebelumnya 0,041 menjadi hanya 0,051. Penyebabnya adalah karena daya jangkau ekonomi masyarakat, semakin rendah dan terlihat dari penurunan jumlah konsumsi rumah tangga. Kemungkinan besar, hal serupa yang terjadi pada 2005 akan kembali dirasakan pada tahun ini.